Indonesia Juarai Desain Interior Dunia Tiga Tahun Beturut-turut Lewat AYDA 2024/25; Di jantung kota Tokyo yang futuristik, pada sebuah malam di pertengahan Juni 2025, panggung Asia Young Designer Awards (AYDA) ke-17 menjadi saksi bisu sebuah proklamasi. Di tengah deretan desainer muda berbakat dari 16 negara, di hadapan para maestro arsitektur dan desain global, sebuah nama dari Indonesia kembali menggema. Saat nama Adelia Meysa diumumkan sebagai pemenang utama kategori Desain Interior, itu bukan sekadar kemenangan personal. Itu adalah penegasan, sebuah deklarasi bahwa Indonesia telah bertransformasi dari kuda hitam menjadi dinasti baru dalam dunia desain interior.
Ini adalah tahun ketiga berturut-turut Merah Putih berkibar di puncak podium kategori ini. Sebuah three-peat—istilah yang biasa digunakan dalam dunia olahraga untuk menandai supremasi—kini menjadi milik Indonesia di salah satu ajang desain paling kompetitif di Asia. Kemenangan Adelia, menyusul jejak Arya Putra pada 2023 dan Alifiah Azzahrah pada 2024, bukanlah sebuah kebetulan. Ia adalah puncak dari sebuah gelombang, hasil dari perpaduan sempurna antara kearifan lokal, kesadaran global, dan sebuah ekosistem yang berhasil memoles talenta mentah menjadi karya berkelas dunia. Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah bangsa kepulauan, yang kaya akan tradisi, kini mendefinisikan ulang masa depan desain global dengan hati dan empati.
Babak I: Anatomi Sebuah Karya Juara – Jiwa “Mayungan Teh”
Untuk memahami mengapa dunia menoleh pada Indonesia, kita harus menyelami jiwa dari karya Adelia Meysa: “Mayungan Teh”. Proyek ini lebih dari sekadar gambar kerja atau render 3D yang indah. Ia adalah sebuah jawaban, sebuah solusi yang lahir dari pendengaran yang mendalam terhadap rintihan komunitas petani teh di Desa Antapan Mayungan, Bali.
Di balik keindahan lanskap Bali yang memesona, para petani teh di sana menghadapi realitas pahit. Mereka terhimpit oleh tekanan ekonomi global, di mana harga teh dunia yang fluktuatif tidak berpihak pada petani kecil. Mereka berjuang melawan rantai pasok yang panjang dan tidak adil, di mana tengkulak seringkali mengambil porsi keuntungan terbesar. Fasilitas pengolahan yang terbatas membuat mereka sulit bersaing dalam kualitas. Akibatnya, banyak generasi muda yang kehilangan minat, melihat masa depan yang lebih cerah di sektor pariwisata daripada melanjutkan warisan teh keluarga. Ini adalah masalah sosial yang kompleks, sebuah simpul yang sulit diurai.
Di sinilah kecemerlangan Adelia terpancar. Tema AYDA tahun ini, “CONVERGE: Glocal Design Solutions,” menantang para desainer untuk tidak hanya membangun ruang, tetapi juga membangun jembatan—antara tantangan lokal dan wawasan global. Adelia menerjemahkan tantangan ini menjadi “Mayungan Teh”, sebuah rumah produksi multifungsi yang dirancang sebagai sebuah ekosistem, bukan sekadar bangunan.
Secara fungsional, “Mayungan Teh” adalah fasilitas pengolahan teh modern yang memungkinkan petani mengontrol kualitas dari daun hingga cangkir, memotong rantai tengkulak, dan meningkatkan nilai jual produk mereka. Namun, Adelia tidak berhenti di situ. Ruang ini juga dirancang sebagai pusat komunitas, tempat para petani dapat berkumpul, berbagi pengetahuan, dan berinovasi. Lebih jauh lagi, ia berfungsi sebagai pusat edukasi dan agrowisata, di mana pengunjung dapat belajar tentang proses pembuatan teh, merasakan budaya lokal, dan membeli produk langsung dari sumbernya. Ini menciptakan siklus ekonomi baru yang berkelanjutan bagi desa.
Pendekatan desainnya adalah manifestasi dari “Glocal”. Ia mengadopsi prinsip desain bioclimatic global—pencahayaan alami yang maksimal, ventilasi silang untuk mengurangi kebutuhan pendingin udara, dan sistem pemanenan air hujan. Namun, material yang digunakan berakar kuat pada kearifan lokal: bambu sebagai struktur utama, atap alang-alang, dan batu-batu lokal yang diekspos, menciptakan harmoni sempurna dengan lingkungan sekitarnya.
“Desain bisa menjadi solusi nyata untuk berbagai isu global jika kita menggabungkan desain yang berkelanjutan dengan empati terhadap manusia dan lingkungan,” ungkap Adelia. Kata kuncinya adalah “empati”. Karyanya bukan lahir dari arogansi seorang desainer yang datang dengan solusi jadi, melainkan dari proses panjang mendengarkan, mengamati, dan merasakan denyut nadi kehidupan komunitas. “Mayungan Teh” adalah bukti bahwa desain interior di level tertinggi bukan lagi soal kemewahan, tetapi soal kemanusiaan.
Babak II: Membedah Dinasti – DNA Sang Juara Indonesia
Kemenangan ketiga berturut-turut ini memunculkan pertanyaan penting: Apa rahasia Indonesia? Apa DNA yang tertanam dalam karya-karya juaranya? Jika kita menilik kembali karya pemenang sebelumnya, sebuah pola yang menarik mulai terlihat.
Pada 2023, Arya Putra dari Institut Teknologi Bandung memenangkan penghargaan yang sama dengan proyek yang juga berakar pada pemberdayaan komunitas dan pemanfaatan material lokal. Setahun kemudian, Alifiah Azzahrah dari Telkom University Bandung memukau juri dengan desain yang mengeksplorasi kembali narasi budaya melalui ruang. Kini, Adelia melanjutkan benang merah tersebut. Ada sebuah “mazhab” desain Indonesia yang mulai terbentuk di panggung AYDA: desain yang berpihak pada komunitas, berkelanjutan secara ekologis, dan kaya akan narasi budaya.
Para desainer muda Indonesia ini tampaknya membawa senjata rahasia: kemampuan untuk “pulang”. Di saat dunia seringkali terpukau oleh tren global yang seragam, mereka justru menemukan kekuatan dengan menggali kekayaan tak terbatas dari warisan nusantara. Mereka tidak melihat tradisi sebagai sesuatu yang kuno untuk dimuseumkan, tetapi sebagai sumber inspirasi yang relevan untuk menjawab tantangan masa kini.
Faktor kedua adalah ekosistem pendukung yang solid. Dalam pidato kemenangannya, Adelia secara khusus berterima kasih kepada para mentornya: Ibam Arafi, Chrisye Oktaviani, Aghnia Fuad, dan Grace Hartanti. Nama-nama ini bukanlah sekadar juri; mereka adalah para praktisi ulung di industri desain Indonesia yang mendedikasikan waktu dan energi mereka untuk membina generasi berikutnya. Proses mentoring intensif yang menjadi bagian dari AYDA Indonesia memastikan bahwa ide-ide brilian dari para mahasiswa ini diasah, dipertajam, dan dipresentasikan dengan standar global. Kemenangan ini adalah kemenangan kolektif, bukti bahwa regenerasi dalam industri kreatif Indonesia berjalan dengan sangat baik.
Babak III: Lebih dari Sekadar Lomba – Ekosistem AYDA sebagai Inkubator
Untuk memahami sepenuhnya fenomena ini, kita juga harus melihat peran platform itu sendiri. AYDA, yang diprakarsai oleh Nippon Paint sejak 2008, telah berevolusi dari sebuah kompetisi desain menjadi inkubator talenta yang komprehensif. Ini adalah bagian dari DNA AYDA yang membedakannya dari ajang penghargaan lainnya.
AYDA tidak hanya meminta para mahasiswa mengirimkan karya lalu menunggu pengumuman. Sebaliknya, ia menciptakan sebuah perjalanan. Ada sesi workshop, seminar, dan bimbingan yang mempertemukan para peserta dengan raksasa industri. Bayangkan seorang mahasiswa desain dari Bali mendapatkan masukan langsung dari seorang Paul Noritaka Tange dari Tange Associates, firma arsitektur legendaris Jepang. Interaksi semacam ini tak ternilai harganya.
Puncak dari perjalanan ini adalah pertemuan para juara nasional di panggung internasional. Di Tokyo, Adelia tidak hanya berkompetisi; ia berinteraksi, bertukar ide, dan membangun jaringan dengan para desainer muda terbaik dari China, Malaysia, Singapura, dan negara-negara lainnya. Ini adalah proses “penyerbukan silang” ide yang memperkaya wawasan mereka dan mempersiapkan mereka untuk berkolaborasi di panggung global di masa depan.
Apresiasi tertinggi dari AYDA pun bukan sekadar trofi atau hadiah uang. Pemenang utama mendapatkan program beasiswa Design Discovery selama tiga minggu di Harvard University Graduate School of Design. Ini adalah sebuah investasi jangka panjang. AYDA tidak hanya merayakan pencapaian saat ini, tetapi juga menanam benih untuk keunggulan di masa depan. Dengan mengirimkan talenta terbaiknya ke pusat pemikiran desain dunia, AYDA memastikan bahwa sang juara akan kembali ke tanah air dengan pengetahuan, jaringan, dan visi yang lebih luas, siap untuk menjadi pemimpin industri berikutnya.
Babak IV: Efek Berantai – Menginspirasi Bangsa, Mengubah Pandangan Dunia
Kemenangan beruntun di Tokyo mengirimkan gelombang kejut yang kuat, baik ke dalam maupun ke luar negeri. Secara eksternal, persepsi dunia terhadap desain Indonesia mulai bergeser. Indonesia tidak lagi hanya dikenal karena keindahan alam atau kerajinan tangannya yang eksotis. Kini, ia diakui sebagai sumber pemikiran desain kontemporer yang inovatif, relevan, dan berdampak. Kemenangan ini menempatkan Indonesia di peta desain global sebagai pemain yang harus diperhitungkan.
Secara internal, dampaknya mungkin jauh lebih besar. Kemenangan Adelia, Arya, dan Alifiah menjadi inspirasi yang kuat bagi ribuan mahasiswa arsitektur dan desain interior di seluruh pelosok negeri. Mereka menunjukkan bahwa mahasiswa dari Bali, Bandung, atau kota mana pun di Indonesia bisa bersaing dan menang di level tertinggi. Ini menumbuhkan kepercayaan diri dan memicu ambisi. Profesi desainer interior, yang mungkin pernah dipandang sebelah mata, kini terangkat martabatnya menjadi bidang yang membanggakan dan memiliki kontribusi nyata bagi masyarakat.
Pengumuman tema AYDA untuk siklus berikutnya, “CONVERGE: Crafting Cultural Legacies” (Merajut Warisan Budaya), seolah menjadi umpan lambung yang sempurna bagi Indonesia. Tema ini mengajak para desainer untuk mengeksplorasi bagaimana desain dapat melestarikan warisan budaya lokal di tengah tantangan globalisasi dan pembangunan. Siapa yang lebih siap menjawab tantangan ini selain para desainer dari bangsa yang memiliki ribuan warisan budaya yang menunggu untuk ditafsirkan kembali? Ini adalah sebuah undangan terbuka bagi generasi desainer Indonesia berikutnya untuk melanjutkan dinasti yang telah dirintis.
Epilog: Fajar Zaman Keemasan Desain Indonesia
Kisah kemenangan Indonesia di Tokyo bukanlah akhir, melainkan sebuah awal. Proklamasi supremasi tiga tahun berturut-turut ini adalah penanda fajar dari apa yang bisa disebut sebagai zaman keemasan desain Indonesia. Ini adalah momen di mana dunia akhirnya menyadari apa yang selama ini telah bergejolak di dalam negeri: sebuah generasi baru desainer yang unik.
Mereka adalah generasi yang terhubung secara digital dengan tren global, tetapi hatinya terpatri pada tanah dan komunitas lokal. Mereka adalah generasi yang fasih dalam bahasa perangkat lunak desain termutakhir, tetapi juga mengerti filosofi di balik ukiran kayu Jepara atau anyaman rotan Cirebon. Mereka adalah generasi yang membawa empati sebagai alat desain paling utama.
Kemenangan Adelia Meysa dengan “Mayungan Teh”-nya adalah simbol dari kekuatan ini. Sebuah karya yang membuktikan bahwa desain terbaik bukanlah yang paling megah, tetapi yang paling mampu menyentuh kehidupan, menyembuhkan luka sosial, dan menumbuhkan harapan. Saat Adelia bersiap untuk perjalanannya ke Harvard, ia tidak hanya membawa nama pribadinya, tetapi juga membawa bendera sebuah gerakan. Sebuah gerakan desain dari Indonesia yang siap menawarkan solusi-solusi penuh makna bagi dunia yang semakin kompleks. Dinasti ini baru saja dimulai.
Setiap pencapaian membanggakan, seperti gelar juara dunia yang diraih Adelia Meysa, pantas diabadikan dengan penghargaan yang elegan dan berkesan. Untuk merayakan setiap prestasi dan momen kemenangan, percayakan kebutuhan trofi dan plakat Anda pada Gotrophy. Sebagai toko piala dan penyedia sparepart piala terpercaya, gotrophy menawarkan kualitas terbaik untuk mengapresiasi para juara di bidang apa pun. Jadikan setiap penghargaan lebih istimewa dan abadi bersama Gotrophy.
Indonesia Juarai Desain Interior Dunia Tiga Tahun Beturut-turut Lewat AYDA 2024/25